Minggu, 14 Februari 2016

Kesuksesan OBR Jogja 2016 Dicederai Tindak Intoleran

ONE BILLION RISING REVOLUTION JOGJA 2016

Ironis, kampanye anti kekerasan terhadap perempuan justru mendapat kekerasan.

YOGYAKARTA – Sekitar 200 orang warga Jogja hadir di Malioboro untuk mendukung kampanye One Billion Rising (OBR) Revolution Jogja 2016. Sepanjang jalan Malioboro peserta menari bersama, membagikan selebaran rujukan penanganan kekerasan dan menyerukan seruan OBR tahun ini yakni “Dengar, Beraksi, Bangkit untuk Revolusi!”. Kampanye ini mendengungkan suara para survivor kekerasan seksual yang selama ini tidak tersuarakan dan terpinggirkan dalam mengakses keadilan. Acara yang berjalan tertib ini mendapat dukungan dari pihak kepolisian dan para pengunjung Malioboro. Namun, seusai acara, sekelompok orang yang mengaku sebagai panitia kegiatan GEMAR 2016 (Gerakan Menutup Aurat) melakukan intimidasi kepada peserta acara OBR Jogja setelah Rally V-Dance, 14 Februari 2016, di kawasan Kilometer Nol.


Pada pukul 15.20, peserta berjalan dan menari (Rally V-Dance) dari DPRD DIY menuju titik Kilometer Nol. Acara diikuti berbagai lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak, ibu, guru, remaja, mahasiswa, dan berbagai komunitas pendukung. Semua peserta menari diiringi dengan musik oleh komunitas drumband dan fragmen bergerak. Menari dipilih sebagai metode yang universal, yang mengajak setiap orang untuk kembali lagi ke dalam tubuh kita sebagai individu, kelompok, dan dunia. Melalui menari, kita memasuki energi revolusioner, mengundang kita mendobrak dan lepas dari kurungan patriarki, serta bangkit melawan kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual. Peserta tiba di Kilometer Nol pada pukul 15.55. Acara puncak di Kilometer Nol diisi dengan teatrikal dan musik ensembel yang menggambarkan pengalaman survivor kekerasan dan bagaimana mendukung survivor untuk bangkit dengan rekomendasi konseling, kelompok dukungan dan advokasi keadilan. Puncaknya, semua peserta menarikan “Break the Chain” bersama-sama hingga tiga kali dan memberikan pernyataan.


“Saya bersolidaritas kepada semua perempuan yang mengalami kekerasan: buruh, guru, mahasiswa dan kelompok disabilitas yang rentan mendapat kekerasan ganda,“ seru Anggi, peserta dari kelompok disabilitas.

“Saya datang ke sini bersama ibu, anak perempuan, dan teman-teman perempuan saya. Saya tidak ingin mereka mendapatkan kekerasan. Kami tidak akan berhenti berkampanye dan beraksi hingga kekerasan berakhir,” terang Ika, perempuan peneliti yang tinggal di Bantul.


Acara berlangsung aman dan tertib hingga selesai pada pukul 16:44 WIB. Polisi turut mengawal acara berdasarkan pemberitahuan yang telah dilayangkan dua hari sebelumnya. Usai acara, peserta masih bertahan untuk membersihkan lokasi. Setelah pihak kepolisian sudah menarik diri, pukul 16.50, sekitar delapan orang yang memperkenalkan diri sebagai panitia GEMAR (Gerakan Menutup Aurat), #IndonesiaTanpaJIL, dan MIUMI mendatangi dan mengintimidasi beberapa peserta OBR Jogja.

Bentuk intimidasi yang diterima peserta One Billion Rising Revolution Jogja 2016, di antaranya:
1.       Perampasan barang peserta.
Barang yang diambil berupa pin bertulis “Say No to Bullying”. Salah seorang pelaku mengatakan bahwa pin tersebut mengandung simbol LGBT.
2.       Pelanggaran hak atas privasi.
Tiga orang pelaku memaksa dan menarik tangan seorang peserta OBR untuk difoto wajahnya, padahal yang bersangkutan telah menolak dengan tegas.
3.       Pernyataan yang mengandung SARA dan seksisme.
Peserta dicecar pertanyaan tentang identitas agama dengan sikap intimidatif, dan pertanyaan lebih banyak ditujukan pada peserta perempuan. Pelaku juga mencecar beberapa peserta berjilbab, mempertanyakan mengapa perempuan tersebut bergabung dengan kampanye OBR Jogja 2016.
4.       Kekerasan verbal berbasis ekspresi gender dan penampilan.
Peserta disoraki dengan nada melecehkan dan merendahkan saat berjalan meninggalkan lokasi. Peserta diteriaki dengan sebutan lesbian, tobat, dan kiamat. Banyak peserta perempuan juga dicecar dengan menyebutkan agama dan dituduh lesbian. Tudingan gerakan liberal juga disasarkan kepada acara OBR Jogja 2016.





Tim OBR Jogja meninggalkan lokasi yang sudah bersih pada pukul 17.03. Setelah itu, lokasi yang sama digunakan oleh acara Gerakan Menutup Aurat dan kampanye #IndonesiaTanpaJIL.

One Billion Rising Jogja menyayangkan sikap intoleran dan intimidatif yang mencederai demokrasi sore hari itu di Malioboro. Sikap tersebut jelas melukai nilai inklusivitas dan anti kekerasan yang diusung oleh OBR Jogja. Kejadian ini juga menambah daftar tindak intoleransi di DI Yogyakarta.  

Oleh karena itu, OBR Jogja: 

1.       Mendesak Negara sebagai pemangku kewajiban atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dalam hal ini Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta harus memastikan tegaknya hak sipil politik utamanya hak atas rasa aman dan memastikan "Jogja City of Tolerance" tidak berhenti di slogan semata;
2.       Berharap agar setiap warga DI Yogyakarta menjaga dan menjunjung tinggi sikap toleransi antar warga negara. 

Mari bersama-sama memperjuangkan Yogyakarta yang berhati nyaman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Jogja Istimewa Tanpa Kekerasan, Jogja Istimewa Tanpa Intimidasi.


Salam solidaritas!
One Billion Rising Jogja 2016
+62 838 6976 9026 (Ani)